26 January 2007
Pesta Tabuik, Ritual Muharram di Pariaman

"Pariaman.., tadanga langang, batabuik mangkonyo rami..."

Penggalan lirik lagu gamad Minang di atas, memang terbukti sekali kenyataannya. Lirik itu memberi gambaran, betapa Pesta Tabuik yang menjadi ritual budaya di Kota Pariaman, sangat ditunggu urang piaman, baik yang ada di kampung halaman --Kabupaten Padangpariaman dan Kota Pariaman-- ataupun yang berada di perantauan. Tak hanya mereka, orang lain, termasuk wisatawan domestik dan mancanegara, menjadikan ritual ini sebagai iven yang wajib tonton. Mengingat keunikannya yang jelas berbeda dengan ritual yang sama di Bengkulu.

Pada Minggu, 28 Januari lalu Pesta Tabuik ini telah dihelat yang disaksikan ribuan orang. Ritual ini menggambarkan kisah Hasan dan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW yang meninggal dipancung musuh-musuhnya di Padang Karbala, Irak. Adalah tradisi kaum Syiah di Irak meratapi peristiwa itu, yang kemudian tradisi tersebut meluas ke berbagai negara muslim. Di Indonesia, selain di Pariaman, ritual mengenang peristiwa meninggalnya cucu Rasulullah juga diadakan di Bengkulu. Namun, pelaksaan tradisi itu juga menjadi berbeda-beda di setiap tempat.

Di Pariaman, Festival Tabuik ini telah dimulai pada tahun 1824. Ketika itu, pelaksanaan pertamanya diprakarsai para pedagang Islam beraliran syiah yang datang dari berbagai daerah dan negara, seperti Aceh, Bengkulu, Arab dan India. Karena tidak ada penolakan terhadap tradisi tersebut oleh masyarakat Pariaman, kemudian perayaan Tabuik itu dilaksanakan setiap tahun.

Pesta Tabuik ini, dulu dikenal sebagai ritual tolak bala, yang diselenggarakan setiap tanggal 1-10 Muharram (kecuali tahun 2004, Pesta Tabuik tidak digelar karena jadwalnya berdekatan dengan pelaksanaan pemilihan umum). Lokasi utama Pesta Tabuik biasanya berada di obyek wisata Pantai Gondoriah, sekitar 65 kilometer arah utara Kota Padang. Tabuik dilukiskan sebagai  "Bouraq", binatang berbentuk kuda bersayap, berbadan tegap, berkepala manusia (wanita cantik), yang dipercaya telah membawa arwah (souls of the) Hasan dan Husein ke surga. Dengan dua peti jenazah yang berumbul-umbul seperti payung mahkota, tabuik tersebut memiliki tinggi antara 10-15 meter.

Puncak Pesta Tabuik adalah bertemunya Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang. Kedua tabuik itu dihoyak dengan ditingkahi alat musik tambur dan gendang tasa. Petang hari kedua tabuik ini digotong menuju Pantai Gondoriah, dan menjelang matahari terbenam, kedua tabuik dibuang ke laut. Dikisahkan, setelah tabuik dibuang ke laut, saat itulah kendaraan bouraq membawa segala arak-arakan terbang ke langit (surga).

Sebagaimana pesta rakyat, maka Pesta Tabuik berlangsung sangat meriah. Biasanya juga diramaikan dengan sejumlah pentas kesenian oleh anak nagari, seperti tari-tarian hingga debus ala Minang. Pengunjung pun selain dapat menyaksikan hoyak tabuik dan pembuangan tabuik ke laut, juga dapat membeli oleh-oleh mulai dari souvenir hingga makanan khas seperti sala lauak (penganan dari goreng tepung yang berbentuk bola-bola) dan ikan maco Pariaman yang terkenal gurih.Atau kalau lapar, bisa makan nasi Sek (seribu kenyang) di pondok-pondok makan yang ada di sepanjang Pantai Pariaman.

Sebagai potensi obyek wisata, Pesta Tabuik juga membawa dampak ekonomis yang akan dirasakan oleh masyarakat Kota Pariaman. Konon, penyelenggaraan Pesta Tabuik rata-rata menelan dana sekitar 250 juta rupiah. Namun transaksi jual beli yang didapat dari kehadiran turis-turis pada pesta ini bisa bernilai Rp 5 miliar. Itu sebabnya, bagi masyarakat Pariaman, Tabuik ”wajib” menjadi kalender wisata tahunan.

* Diolah dari berbagai sumber

Labels:

 
posted by Hannie at 5:41 PM | Permalink | 1 comments
17 January 2007
Urang Padang Baralek Gadang,
JIKA 2007 ini anda punya rencana untuk pulang kampuang --bagi yang merantau-- atau mau jalan ke Ranah Minang --buat yang hobi jalan-jalan--, reschedule kembali jadwal kunjungan ada. Itu jika anda berkeinginan melihat prosesi baralek gadang (pesta pernikahan) ala rang Minang di Kota Padang. Saat liburan panjang nanti, sekitar Juni-Juli 2007, keingintahuan anda soal pesta adat ini akan terjawab. Itu kalau tidak ada aral melintang dan Pemko Padang tidak kelupaan untuk menghelatnya.

Acara ini sendiri sebenarnya sudah dilaksanakan pada 19 Desember 2006 lalu dengan tajuk Urang Padang Baralek Gadang. Event yang baru pertama kali diadakan itu, tentu saja masih ada kekurangan di sana-sini. Kendati begitu, tetap saja acara serupa ini adalah hal yang menarik bagi orang yang belum pernah melihat dan punya ketertarikan dengan budaya lokal.


Pada acara Urang Padang Baralek Gadang lalu itu, diawali dengan acara babako (pergi ke keluarga pihak ayah) ke rumah --yang diperankan-- Sekdako Padang, Firdaus K. Di sana, 11 anak daro (penganten wanita) dan marapulai (penganten pria) meminta izin dan do'a restu.

Setelah mendapat nasehat dari bako, pasangan anak daro jo marapulai diarak ke rumah orangtua masing-masing diiringi musik talempong dan diarak secara beramai-ramai oleh bako, sedangkan anak pisang dari anak daro, mairik jawi (menarik sapi) pemberian bako. Setelah orangtuanya melempari bareh kunyik (beras dilumuri kunyit halus) sebagai tanda selamat datang dan datanglah kebaikan, bako mulai melangkah masuk dan meletakkan buah tangan yang telah dipersiapkan di atas seprah (kain putih panjang tempat meletakkan hidangan). Di sana telah dihidangkan makanan yang diletakkan tradisional yang khusus dibuat untuk hidangan pernikahan itu. Di antaranya terdapat rendang, gulai cubadak (nangka), gulai tocho dan makanan tradisional lainnya.

Setelah dari Babako, dilanjutkan acara bainai jo batagak gala (memasang inai bagi penganten wanita dan prosesi penyematan gelar adat bagi penganten pria) di rumah masing-masing pada pukul 20.00 WIB. Bainai di rumah orangtua anak daro (dalam acara ini diselenggarakan di kediaman Walikota Padang, Drs H Fauzi Bahar MSi) dan batagak gala di rumah orangtua laki-laki (kediaman Wawako, Drs H Yusman Kasim).

Malam bainai bagi anak daro, dilakukan pada saat seorang gadis akan memasuki kehidupan baru, dimana tanggung jawab orangtua terhadap anak perempuannya akan berpindah kepada suaminya.

Keesokan harinya, kegiatan akad nikah dilangsungkan di rumah anak daro. Namun sebelumnya marapulai dijemput (manjapuik marapulai) oleh pihak pengantin wanita, yang disertai dengan membawa sirih dalam carano serta pakaian nikahnya berupa jas lengkap. Dilanjutkan basandiang, yaitu prosesi peresmian perkawinan dengan acara resepsi. Sebelum anak daro dan marapulai bersanding, pihak keluarga menjemput marapulai dengan bareh kunyik (beras kunyit). Resepsi ini, berlangsung sehari penuh.

Di hari ketiga, rangkaian kegiatan Urang Padang Baralek Gadang ini diwarnai dengan kegiatan maantaan nasi (mengantar nasi) oleh pihak anak daro ke rumah orangtua marapulai di rumah Wawako. Prosesi maanta nasi, sebelumnya diawali dengan kegiatan makan bajamba di Palanta Kota Padang.

Di hadapan masing-masing pasangan pengantin yang berjumlah 11 pasang, terhampar masakan dan makanan khas Padang. Seperti rendang, ikan panggang, toco, pindang ikan, galamai, agar-agar, buah-buahan. Sebelum makan bersama, diawali pula dengan kegiatan berpantun oleh ninik mamak.

Usai bajawek pantun (berbalas pantun), walikota bersama para ninik mamak yang duduk di ruangan utama (panggung) memulai makan. Tidak hanya para ninik mamak, keluarga dari 11 pasang pengantin ini juga ikut makan bersama. Sementara tamu-tamu lain, lantaran tempat duduk bersila sudah penuh pada ruangan palanta, makan pada bagian luar.

Usai makan bersama, walikota melepas secara resmi iring-iringan pengantin bersama para sumandan untuk maanta nasi ke rumah wakil walikota sebagai rangkaian dari acara manjalang mintuo (melihat mertua). Iring-iringan pengantin bersama rombongan itu membawa sejumlah makanan. Sesampainya di rumah besan, rombongan disambut dengan kegiatan pantun berpantun, sampai dengan kegiatan penyerahan bawaan.

Meski kesannya simpel, rangkaian baralek gadang ini sebetulnya benar-benar melelahkan. Karena itu, akhir-akhir ini acara pernikahan di Kota Padang lebih cenderung merujuk kepada acara pernikahan modern yang tak kelewat bikin repot. Namun begitu, khazanah budaya serupa ini patut tetap dipertahankan Pemko, sehingga muncullah ide untuk menjadikannya sebagai calendar event pariwisata di Kota Padang. (***)

Labels:

 
posted by Maryulis Max at 11:24 PM | Permalink | 3 comments
04 January 2007
Ikan Bilih
Orang Minang terkenal dengan masakan dan makanannya. Rendang daging, jangek (kerupuk kulit sapi), lepat pisang, hingga bubur kampiun (semacam campuran bubur kacang hijau dengan bubur kacang hitam). Apapun bisa menjadi santapan yang lezat di tangan mereka. Bagaimana dengan ikan?

Rupanya, selain ikan laut dan ikan air tawar (sebagian wilayah Sumatra Barat adalah air) yang selalu tersedia dalam keadaan segar di pasar-pasar, Ranah Minang juga menyimpan potensi ikan khas yang endemik di Danau Singkarak. Ikan tersebut adalah ikan bilih.



Sepintas, fisik ikan bilih mirip dengan ikan teri ukuran sedang. Ikan bilih memang sejenis ikan teri. Namun berbeda dengan ikan teri dari Medan misalnya, ikan bilih memiliki tekstur dan ukuran tubuh yang lebih besar dan renyah.

Ikan ini memiliki daging lebih banyak dibandingkan ikan teri biasa, juga tidak asin. Dagingnya yang cukup tebal itu sangat lezat. Panjang ikan bilih sebetulnya bisa mencapai jari tangan orang dewasa, tapi akibat penangkapan yang semakin meningkat saat ini ikan bilih yang dijual lebih banyak berukuran kecil.

Di daerah asalnya, tepian danau Singkarak, banyak kedai (warung, Red.) yang menjual ikan bilih ini untuk dimakan atau dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Umumnya ikan-ikan itu segera dimasak setelah ditangkap. Jika Anda berwisata ke Danau Singkarak maka Anda dapat menikmati pemandangan danau yang indah disertai suguhan nasi berlauk ikan bilih.
Di kota-kota di Sumatra Barat, ikan bilih dapat ditemui di pasar-pasar hingga di toko-toko yang khusus menjual makanan khas untuk oleh-oleh. Mencarinya tidak terlalu sulit. Cukup bertanya sedikit, maka akan ada orang yang menunjukkan lokasi penjualan ikan yang rasanya sangat gurih tersebut.

Harga ikan bilih bermacam-macam, tergantung lokasi pembelian dan keberhasilan menawar. Bila kita membeli langsung dari Danau Singkarak, tentu harganya lebih murah. Di pasar di kota Padang, masih ada toko yang menjual satu plastik ikan bilih (sekitar satu kilogram) dengan harga Rp. 10.000. Di daerah Bukittinggi, harganya lebih bervariasi, antara 25.000 hingga 50.000. Semuanya sudah dimasak.

Ikan bilih (masak) dapat langsung dimakan tanpa bumbu apapun. Biasanya, ikan ini menjadi salah satu opsi lauk bagi pencinta alam untuk makan selama mendaki gunung. Untuk acara piknik keluarga, ikan ini juga sering menjadi pilihan makanan.

Makan nasi dengan ikan bilih (saja) cukup mengenyangkan. Namun ikan bilih akan lebih lezat jika dimakan bersama sambal atau dicampur bersama lauk lain.
Opsi campuran untuk ikan bilih (jangan lupa diberi sambal/cabai) adalah irisan panjang kentang; tempe; tahu; hingga telur puyuh. Hidangkan bersama nasi hangat. Hmmm...!!! Rasanya makin nikmat!


Labels:

 
posted by Hannie at 11:25 PM | Permalink | 12 comments